Uritanet, – Tahun ini, Sang Legenda, genap berusia 76 tahun. Sebuah usia yang bagi kebanyakan orang mengharuskan tinggal di rumah, duduk manis membaca surat kabar. Tetapi Albar, bersama Ian Antono (gitar), Donny Fattah (bass), Abadi Soesman (keyboard) dan Fajar Satritama (drum), justru tetap main band dengan Godbless. Nampaknya benar bahwa seniman itu tidak pernah mengenal pensiun.
Dilahirkan di Surabaya pada 16 Juli 1946, saya pertama kali menyaksikan sosoknya di atas panggung pada Nopember 1983. Saat itu di Balai Sidang Jakarta (kini Jakarta Convention Centre) tengah berlangsung perhelatan All Indonesian Rock Star. Achmad Albar ber-jam session antara lain dengan Ian Antono (gitar), Odink Nasution (gitar), Abadi Soesman (keyboard), Yockie Suryopyago (keyboard) dan Jelly Tobing (drum) – sampai sekarang melihat dua nama terakhir ini tampil bareng cukup langka sebenarnya.
Saya lupa repertoar keseluruhan yang dibawakan Albar, tatapi ingat persis dua di antaranya adalah “Time Again” (Asia) dan “Way Back to the Bone” (Trapeze). Teriakannya yang menggelegar amat mengagetkan. Maklum selama itu suaranya hanya bisa didengar melalui album pertama dan Cermin. Dalam hal kualitas vokal, Indonesia memang harus bangga memiliki rocker sekaliber Achmad Albar.
Lebih dari 40 tahun berkarier, Albar termasuk seniman yang bisa diterima di kalangan luas. Saat menjadi personel band Bintang Remaja dan berhasil menjuarai festival band bocah di Jakarta, 1960, ia membawakan lagu bergenre pop. Beberapa single yang dihasilkan oleh Clover Leaf, bandnya semasa tinggal di Belanda, juga berirama pop. Padahal saat tampil di atas panggung membawakan musik keras.
Itu sebabnya, ketika muncul wacana mengaransemen ulang lagu-lagu Clover Leaf untuk dimasukkan ke dalam album Godbless, ia nampak keberatan. “Materinya terlalu ngepop,” katanya merendah. Lagu-lagu yang dimaksudkan antara lain “Time Will Show”, “Grey Cloud” dan “What Kind Of Man”.
Popularitas Clover Leaf berhasil menembus Austria, Jerman, Luxemburg, Belgia serta beberapa negara tetangga lainnya. Sukses ini berkat single “Don”t Spoil My Day”, ciptaannya bareng bassis Jack Verburgt. Band ini juga memiliki arti penting bagi kelahiran Godbless kelak. Saat itu gitaris Eugene den Hoed mengundurkan diri dikarenakan suatu alasan. Posisinya kemudian diganti oleh Ludwig Lemans. Nah, nama inilah yang diajaknya saat pulang Jakarta dan ikut membidani kelahiran Godbless.
Beberapa album solo Achmad Albar juga memperlihatkan kedekatannya pada musik pop. Termasuk “Syair Kehidupan” (Ian Antono), “Dunia Huru Hara” (Areng Widodo), “Langkahkan Pasti” (Fariz RM) atau “Semestinya” (Addie MS). Bahkan dalam salah satu albumnya solonya Albar pernah membawakan ciptaan Cecep AS, “Risau”, yang dikenal sebagai spesialis pencipta lagu mellow.
Achmad Albar juga tidak asing dengan musik dangdut. Pada 1979 ia merilis “Zakia.” Album ini sempat bikin heboh karena muncul pada saat namanya tengah menjulang sebagai ikon musik cadas. Langkah yang boleh dibilang nekat namun Albar mengambil risiko tersebut dikarenakan alasan logis. Saat itu Godbless tak kunjung mendapat job. Dalam situasi terjepit, musisi mana yang mampu menolak tawaran Rp 25 juta – angka fantastis untuk ukuran saat itu.
Toh meski menampilkan bebunyian tabla yang telah menjadi identitas dangdut, dimainkan seorang pemusik asal Pakistan, album ini berusaha menyusupkan elemen rock yang tetap membedakannya dari kebanyakan album dangdut di pasaran. Salah satu lagunya, “Raja Kumbang”, memperdengarkan kepada kita bahwa ada satu periode ketika Ian Antono layak disebut sebagai gitaris cepat. Ciptaan Albar dan Ian ini yang sangat populer di Malaysia dan hingga kini masih kerap diputar.
Kontroversi seputar album Zakia tak lantas membuat Albar kapok. Berikutnya ia berduet dengan ratu dangdut Elvy Sukaesih. Kali ini penjualannya tidak begitu sukses. Ada dua kemungkinan. Publik sudah tidak merasa kaget lagi dengan karya Albar yang dianggap “keluar jalur” dan secara artistik musikalitasnya tak sefenomenal yang pertama.
Uniknya, kemunculan dua album dangdut ini tak lantas meruntuhkan citranya sebagai rock star. Publik seperti memaafkan. Terlepas dari pertimbangan ekonomi yang mendasari kemunculannya, saya sendiri lebih melihat album Zakia sebagai ekspansi kesenimanan Achmad Albar.
Bukan kali ini saja Albar menciptakan kehebohan. Jauh sebelumnya, pada 1978, ia pernah menyedot perhatian dunia panggung dan rekaman musik rock melalui duetnya dengan almarhum Ucok Harahap, vokalis band AKA asal Surabaya yang kontroversial itu. Melalui dua album, Neraka Jahanam (1977) dan Pelacur Tua (1978), popularitas Duo Kribo seperti tak terbendung.
Begitu terkenalnya sampai menarik perhatian perusahaan Interstudio untuk mengangkatnya ke layar lebar dengan judul sama. Disutradarai Edward Pesta Sirait, logika cerita sengaja ditabrakan. Jika di atas panggung diperlihatkan bagaimana kekompakan Albar-Ucok membangun tontotanan memikat, sebaliknya dalam film diceritakan bagaimana keduanya bersaing ketat dalam merebut singgasana karier.
Seperti biasa, alurnya diselang-seling oleh percintaan sebagai bumbu konflik. Untuk itu Eva Arnaz, simbol seks era ’70-an, dilibatkan sebagai pemeran Monalisa (diambil dari salah satu judul lagu dari album pertama). Film ini beredar nyaris bersamaan dengan album soundtrack-nya.
Duo Kribo non aktif setelah menyelesaikan tiga album studio, namun dengan usia karier cukup singkat itu mereka berhasil menciptakan transfer kreativitas. Terbukti beberapa tahun kemudian lagu-lagunya direinterpretasi oleh sejumlah musisi generasi baru. Antara lain “Tertipu Lagi” (Nicky Astria), “Neraka Jahanam” (Boomerang dan Yovi Nuno) dan “Discotheque” (Seringai).
Tentu saja warisan terbesar duet ini adalah “Dunia Panggung Sandiwara”, ciptaan Ian Antono dan sastrawan Taufik Ismail yang sampai kini telah menjadi lagu populer sepanjang masa. Nicky Astria ikut mencicipi kesaktian lagu klasik ini setelah pada 1989 menyanyikan ulang dengan judul “Panggung Sandiwara”.
Achmad Albar juga terlibat dalam dua kali Pergelaran Karya Cipta Guruh Sukarno Putra. Ia tampil dan menyanyikan “Peri Kemanusiaan” dan “Jenuh”.
Fakta di atas mungkin menjadi jawaban kenapa dirinya tetap eksis selama empat dekade. Nama God Bless boleh timbul tenggelam, namun Achmad Albar piawai menciptakan kelenturan yang menyebabkannya mampu bertahan dalam berbagai situasi.
Selamat ulang tahun, Achmad Albar. God Bless!