Uritanet, – Penerbitan surat ijin ekspor minyak sawit mentah/Crude Palm Oil (CPO), yang menyeret oknum pejabat Kementerian Perdagangan dan 3 (Tiga) petinggi Perusahaan Kelapa Sawit besar, bukti kerakusan oligarki penguasa sawit. Bshwa Oligarki begitu mempengaruhi kebijakan di pemerintahan. Sehingga kementerian yang seharusnya menjaga kuota ekspor dengan memperhatikan Domestic Market Obligation (DMO), malah berbuat sebaliknya, dengan mengeluarkan persetujuan ekspor CPO, tegas Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di sela reses di Jawa Timur (20/4).
Penentuan DMO sebesar 30 persen oleh pemerintah sebenarnya untuk menjaga pasokan kebutuhan dalam negeri. Termasuk menjaga suplay and demand pabrik minyak goreng. Tetapi karena harga ekspor CPO sedang tinggi, dan permintaan di luar negeri banyak, mereka jadi rakus, tambahnya.
Karena akibat kuota DMO yang berkurang, minyak goreng terdampak menjadi langka dan mahal. Sehingga pemerintah terpaksa mengeluarkan uang dari pajak rakyat untuk BLT, agar masyarakat mampu membeli minyak goreng yang mahal. Kasus ini menimbulkan kerugian negara, tetapi juga kerugian perekonomian negara.
“Jadi uang negara dikeluarkan, untuk mensubsidi kerakusan mereka. Ini kerugian perekonomian negara. Bukan saja kerugian keuangan negara. Ini sudah melampaui batas. Padahal DMO dan DPO (Domestic Price Obligation) adalah atensi langsung presiden, dan yang menjadi garda depan untuk menjaga adalah kementerian perdagangan,” urainya.
Tiga perusahaan kelapa sawit besar yang ditetapkan Kejagung terlibat, yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Musim Mas dan Permata Hijau Grup, selama ini adalah penerima dana triliunan rupiah dari program proyek BioDiesel dari BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit).
Dari data BPDPKS, sejak 2005 hingga 2021, PT Wilmar Grup menerima Rp.39,52 triliun. Sedangkan PT Musim MAS Grup menerima Rp.18,67 triliun. Dan Permata Hijau Grup menerima Rp.8,2 triliun. Dan dari total 6 kegiatan pemanfaatan dana BPDPKS yang berasal dari pungutan ekspor CPO dan produk turunannya, ternyata 80 persen digelontorkan kepada sekitar 10 perusahaan besar Kelapa Sawit untuk subsidi program BioDiesel. Sementara dana untuk peremajaan sawit rakyat pada tahun 2016 hingga 2021 misalnya, hanya 5 persen, atau sekitar Rp.6,59 triliun.
“Jadi pantas saja kesejahteraan petani sawit tak pernah dirasakan dengan adil. Apalagi keinginan Pemerintah Provinsi penghasil agar mendapat Dana Bagi Hasil (DBH), sudah pasti tak akan pernah terealiasi,” ungkap LaNyalla.
BPDPKS hanya jadi kasir aja, ikut apa keputusan rapat-rapat itu. Jadi jangan heran kalau Komisi Pemberantasan Korupsi pernah menyatakan bahwa ada kelebihan biaya program subsidi BioDiesel yang merugikan negara sebesar Rp.4,2 triliun di tahun 2020, tukasnya seraya mengatakan bahwa dirinya akan membongkar kesalahanan kelola tersebut.
Celakanya lagi, seperti ditulis Tempo, konsep pengumpulan dana dari pungutan ekspor yang dikumpulkan di BPDPKS penggunaannya ditentukan oleh Komite Pengarah, yang pimpin Menko Perekonomian, yang melibatkan empat pengusaha Sawit besar dalam rapat terkait program BioDiesel.
Seperti diberitakan, Kejaksaan Agung, Selasa (19/4/2022) menahan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan berinisial IWW terkait kasus pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO). Selain IWW, tiga tersangka lainnya yakni Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT, General Affairs PT Musi Mas berinisial PT, dan Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG) berinisial SMA juga ditahan.
)**Nawasanga/ BIRO PERS, MEDIA, DAN INFORMASI LANYALLA