Meminta Pemerintah Pertimbangkan Aspirasi Kelompok Pendukung Pemekaran Maupun Menolak Pemekaran

Uritanet,- “Menurut pandangan saya, pemerintah juga harus membuka ruang-ruang komunikasi kepada kelompok-kelompok yang menentang pemekaran sehingga dari dua sisi antara pihak yang menginginkan dan yang menolak pemekaran diterima secara terhormat. Saya yakin pasti ada solusi terbaik dalam rangka kebijakan dan percepatan pembangunan di tanah Papua,” ujar Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma SH., M.Hum (7/4).

Dengan kata lain, meminta pemerintah mempertimbangkan aspirasi masyarakat secara menyeluruh baik dari kelompok masyarakat yang mendukung pemekaran maupun yang menolak pemekaran. Aspirasi masyarakat ini harus didengarkan baik yang disampaikan melalui parlemen, perorangan, organisasi masyarakat maupun pemerintah daerah.

“Pemerintah bersama DPR termasuk Baleg dapat mengundang kelompok-kelompok yang menentang pemekaran di Papua. Ini menjadi bentuk demokrasi yang fair. Hal ini sangat penting karena sepanjang masih ada pro dan kontra terkait dengan pemekaran di tanah Papua maka saat itulah tujuan kebijakan tidak akan berjalan sesuai harapan,” sambungnya.

Selain itu, Filep juga menyoroti cara yang digunakan oleh pemerintah pusat terkait rencana pemekaran ini yang cenderung menggunakan sistem top-down dalam merumuskan kebijakan. Menurutnya, sistem ini cenderung otoriter dan sudah seharusnya diubah. Ia menekankan, cara-cara ini harus diperhatikan secara serius karena pada dasarnya kebijakan dirumuskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat.

Baca Juga :  DPD RI FGD Bahas Pengelolaan Perbatasan Negara Wujudkan Kesejahteraan Masyarakat dan Ketahanan Nasional

“Kecenderungan sistem top-down harusnya diubah. Ya memang sistem ini jadi salah satu cara untuk mempertegas dan mempercepat proses tetapi kemudian sistem top-down yang selama ini dibangun oleh Kemendagri justru menciptakan konflik politik-keamanan di Papua. Maka saya pikir dalam konteks demokrasi saat ini, kebijakan itu dirumuskan berdasarkan kebutuhan dan keinginan daripada rakyat bukan keinginan pemerintah,” ungkapnya.

Berdasarkan Pasal 76 UU Otsus disebutkan bahwa pemekaran daerah dapat ditempuh melalui dua mekanisme. Pertama, mekanisme pemekaran melalui aspirasi masyarakat yakni melalui Majelis Rakyat Papua (MRP), DPR Papua dan juga pemerintah Papua. Kedua, pemerintah pusat dapat melaksanakan pemekaran berdasarkan aspirasi masyarakat.

Akan tetapi, Filep menilai pemerintah pusat saat ini lebih cenderung menggunakan alternatif yang kedua. Ia berpendapat, sistem top-down dalam konteks rencana pemekaran wilayah ini justru seperti menciptakan bom waktu bagi pemerintah yang pada akhirnya juga menghambat tujuan pembangunan kesejahteraan masyarakat.

“Pemerintah terkesan mengesampingkan aspirasi yang sebenarnya secara politik nasional dan politik lokal memiliki otoritas yang diberikan oleh otonomi khusus bagi daerah. Saya lihat sampai dengan saat ini, walaupun telah dilakukan pembahasan-pembahasan di Baleg, pemerintah dan DPR harusnya melihat adanya penolakan provinsi karena penolakan provinsi ini juga bagian dari demokrasi,” jelasnya.

Sebagai senator dari Papua Barat yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komite I DPD RI, Filep berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu gegabah dalam memekarkan Papua dan pemerintah juga harus menganalisa tentang dampak-dampak politik dan keamanan yang timbul.

Baca Juga :  Jadi Saksi Ijab Qobul, Upaya Wakil Walikota Bekasi Dekat Dengan Warga

Selain itu, masih banyak isu daerah yang lebih mendasar untuk dipenuhi seperti pelayanan dasar, persoalan hak asasi manusia termasuk hak ekonomi, sosial dan politik yang belum menyentuh substansi dasar. Menurutnya, hal ini merupakan substansi dasar yang jauh lebih penting daripada pemekaran wilayah.

“Saya juga berharap Mendagri dan jajaran untuk memandang lebih luas tentang makna otonomi khusus itu dimana otonomi khusus mencerminkan tentang diplomasi politik rakyat Papua dan pemerintah pusat untuk penyelesaian isu-isu politik lokal di Papua. Oleh sebab itu, Otsus diharapkan menjadi solusi dan bukan menjadi potensi konflik baru,” jelasnya.

“Apakah saya mendukung ataupun tidak mendukung, menurut saya substansi dasarnya adalah tujuan daripada kebijakan itu. Kalau kebijakan itu adalah kebijakan untuk melindungi harkat martabat OAP dan untuk kemanusiaan, keadilan serta kesejahteraan maka pada prinsipnya perlu diapresiasi secara bersama-sama. Tetapi menurut saya rakyat Papua hari ini lebih condong kepada kebutuhan akan penghormatan hak dasar dan martabatnya termasuk dalam ruang lingkup nasional,” ungkapnya.

)**Nawasanga/ NewsroomDPDRI

Share Article :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *