URITANET,-
Kerudung, kudung, tudung, tengkuluk, kuluk, tingkuluak, saong, bulang, passapu, tukus, jong dan masih banyak lagi sebutan penutup kepala perempuan Nusantara. Tapi nama ini hilang dari perbincangan warga net atau kelompok-kelompok pengajian. Mungkin tak ada yang pernah mendengarnya atau juga karena tak pernah mengerti budaya ibunya. Mereka lebih suka membicarakan jilbab atau hijab sebagai lambang kesalehan.
Padahal, bangsa Indonesia telah mengenal penutup kepala sejak berabad lampau. Pentup kepala perempuan yang dikenakan dalam keseharian hingga menjadi identitas tradisional dan kehormatan tak asal mengenakan. Para leluhur selalu menyematkan makna dan pesan dari setiap lembaran kain dan cara pakainya.
Mereka hanya sibuk memikirkan cinta kasih agar perempuan memiliki kedaulatan di mata sesama. Berbanding terbalik dengan kehidupan sekarang siapa saja merasa paling mengerti dan menguasai Tuhan. Karena tren politik, pakaian setiap orang dinilai atas nama iman dan dicitrakan melanggar tata cara beragama. Kesalehan seseorang hanya dilihat dari lembaran kain semata.
Pada masyarakat Batak, masyarakat Jambi hingga Mamasa para perempuan memakai penutup kepala bukan karena ingin dipandang saleh, tetapi karena ia siap bekerja atau membantu sesama. Itulah kesahajaan perempuan terdahulu. Lain lagi bagi masyarakat Simalungun, seorang perempuan memakai ‘Bulang’ yang diberi oleh ibu mertuanya sebagai tanda dia diterima di keluarga barunya, sebuah tanda cinta.
Jelas, ini bukan perkara sederhana atas pilihan-pilihan perempuan. Sebuah kesahajaan, kehormatan dan tradisi lahir karena rasa cinta atas sesama manusia. Sebagaimana perintahnya, manusiakanlah manusia, bukan memanusiakan Tuhan sehingga punya hak mendikte kepala perempuan.
Jangan lupa, perempuan adalah aktor utama pelestarian tradisi, di belahan bumi mana pun. Songket, tenun, batik, kebaya, dan rupa-rupa penutup kepala dengan makna dan filosofinya itu siapa yang menciptakan? Perempaun. Maka para perempuan hendaknya menjadi penjaga tradisi itu, bukan meninggalkan.
)**Oleh Nury Sybli